28 Agustus 2009

BID’AH ,,,,,,,,Yang dijauhi,,,tapi,,, Ada juga yang mendekati,,,Bahkan mengawini

Definisi Bid'ah
Para ulama telah memberikan beberapa definisi bidah. Definisi-definisi ini walaupun lafadl-lafadlnya berbeda-beda, menambah kesempurnaannya disamping memiliki kandungan makna yang sama. Termasuk definisi yang terpenting adalah

1.Definisi Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
Syaikhul Islam Ibnu Taimiah berkata,Bidah dalam agama adalah perkara wajib maupun sunnah yang tidak Allah dan rasu-Nya syariatkan. Adapun apa-apa yang Ia perintahkan baik perkara wajib maupun sunnah maka diketahui dengan dalil-dalil syriat, dan ia termasuk perkara agama yang Allah syariatkan meskipun masih diperslisihkan oleh para ulama. Apakah sudah dikierjakan pada jaman nabi ataupun belum dikerjakan.

2. Definisi Imam Syathibi
Beliau berkata,Satu jalan dalam agama yang diciptakan menyamai syariat yang diniatkan dengan menempuhnya bersungguh-sungguh dalam beribadah kepada Allah.

3.Definisi Ibnu Rajab
Ibnu Rajab berkata,Bidah adalah mengada-adakan suatu perkara yang tidak ada asalnya dalam syariat. Adapun yang memiliki bukti dari syariat maka bukan bidahwalaupun bisa dikatakan bidah secara bahasa

4.Definisi Suyuthi
Beliau berkata,Bidah adalah sebuah ungkapan tentang perbuatan yang menentang syariat dengan suatu perselisihan atau suatu perbuatan yang menyebabkan menambah dan mengurangi ajaran syariat.

Dengan memperhatikan definisi-definisi ini akan nampak tanda-tanda yang mendasar bagi batasan bidah secara syariat yang dapat dimunculkan ke dalam beberapa point di bawah ini

1. Bahwa bidah adalah mengadakan suatu perkara yang baru dalam agama. Adapun mengadakan suatu perkara yang tidak diniatkan untuk agama tetapi semata diniatkan untuk terealisasinya maslahat duniawi seperti mengadakan perindustrian dan alat-alat sekedar untuk mendapatkan kemaslahatan manusia yang bersifat duniawi tidak dinamakan bidah.

2. Bahwa bidah tidak mempunyai dasar yang ditunjukkan syariat.
Adapun apa yang ditunjukkan oleh kaidah- kaidah syariat bukanlah bidah, walupun tidak ditentukan oleh nash secara husus. Misalnya adalah apa yang bisa kita lihat sekarang: orang yang membuat alat-lat perang seperti kapal terbang,roket, tank atau selain itu dari sarana-sarana perang modern yang diniatkan untuk mempersiapkan perang melawan orang-orang kafir dan membela kaum muslimin maka perbuatannya bukanlah bidah. Bersamaan dengan itu syariat tidak memberikan nash tertentu dan rasulullah tidak mempergunakan senjata itu ketika bertempur melawan orang-orang kafir. Namun demikian pembuatan alat-alat seperti itu masuk ke dalam keumuman firman Allah taala,Dan persiapkanlah oleh kalian untuk mereka (musuh-musuh) kekuatan yang kamu sanggupi.Demikian pula perbuatan-perbuatan lainnya. Maka setiap apa-apa yang mempunyai asal dalam sariat termasuk bagian dari syariat bukan perkara bidah.

3. Bahwa bidah dalam agama terkadang menambah dan terkadang mengurangi syariat
sebagaimana yang dikatakan oleh Suyuthi di samping dibutuhkan pembatasan yaitu apakah motivasi adanya penambahan itu agama. Adapun bila motivasi penambahan selain agama, bukanlah bidah. Contohnya meninggalkan perkara wajib tanpa udzur, maka perbuatan ini adalah tindakan maksiat bukan bidah. Demikian juga meninggalkan satu amalan sunnah tidak dinamakan bidah. Masalah ini akan diterangkan nanti dengan beberapa contohnya ketika membahas pembagian bidah. InsyaAllah.

Inilah definisi-definisi terpenting tentang bidah yang mencakup hukum-hukumnya. Telah nampak dari sisi-sisinya batasan bidah dan jelas pula kaidah-kaidahnya yang benar untuk mendefinisikannya. Adapun cakupan setiap definisi itu bagi hukum-hukum bidah maka berbeda-beda .

Perbuatan Bid'ah Tertolak
Dari Ummul Mu'minin; Ummu Abdillah; Aisyah radhiallahuanha dia berkata : Rasulullah SAW bersabda : Siapa yang mengada-ada dalam urusan (agama) kami ini yang bukan (berasal) darinya ), maka dia tertolak. (Riwayat Bukhori dan Muslim), dalam riwayat Muslim disebutkan: siapa yang melakukan suatu perbuatan (ibadah) yang bukan urusan (agama) kami, maka dia tertolak).
Ummul mukminin, ummu Abdillah, 'Aisyah ra. berkata bahwa Rasulullah bersabda:
"Barangsiapa yang mengada-adakan sesuatu dalam urusan agama kami ini yang bukan dari kami, maka dia tertolak". (Bukhari dan Muslim )
Dalam riwayat Muslim :
"Barangsiapa melakukan suatu amal yang tidak sesuai urusan kami, maka dia tertolak") ; Penjelasan:Kata "Raddun" menurut ahli bahasa maksudnya tertolak atau tidak sah. Kalimat "bukan dari urusan kami" maksudnya bukan dari hukum kami.
Hadits ini merupakan salah satu pedoman penting dalam agama Islam yang merupakan kalimat pendek yang penuh arti yang dikaruniakan kepada Rasulullah.
Hadits ini dengan tegas menolak setiap perkara bid'ah dan setiap perkara (dalam urusan agama) yang direkayasa.
Sebagian ahli ushul fiqih menjadikan hadits ini sebagai dasar kaidah bahwa setiap yang terlarang dinyatakan sebagai hal yang merusak.
Pada riwayat imam muslim diatas disebutkan, "Barangsiapa melakukan suatu amal yang tidak sesuai urusan kami, maka dia tertolak" dengan jelas menyatakan keharusan meninggalkan setiap perkara bid'ah, baik ia ciptakan sendiri atau hanya mengikuti orang sebelumnya.

Sebagian orang yang ingkar (ahli bid'ah) menjadikan hadits ini sebagai alasan bila ia melakukan suatu perbuatan bid'ah, dia mengatakan : "Bukan saya yang menciptakannya" maka pendapat tersebut terbantah oleh hadits diatas.
Hadits ini patut dihafal, disebarluaskan, dan digunakan sebagai bantahan terhadap kaum yang ingkar karena isinya mencakup semua hal.
Adapun hal-hal yang tidak merupakan pokok agama sehingga tidak diatur dalam sunnah, maka tidak tercakup dalam larangan ini, seperti menulis Al-Qur'an dalam Mushaf dan pembukuan pendapat para ahli fiqih yang bertaraf mujtahid yang menerangkan permasalahan-permasalahan furu' dari pokoknya, yaitu sabda Rosululloh .

Demikian juga mengarang kitab-kitab nahwu, ilmu hitung, faraid dan sebagainya yang semuanya bersandar kepada sabda Rasulullah dan perintahnya. Kesemua usaha ini tidak termasuk dalam ancaman hadits di atas.

Bahaya Bid'ah

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah menerangkan segala kebutuhan umat dalam berbagai aspek kehidupan mereka, sebagaimana yang dikatakan oleh Abu Dzar Radhiyallahu 'anhu :

"Artinya : Tidak ada yang diabaikan oleh Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, sampai burung yang mengepakkan sayapnya di langit, melainkan beliau telah mengajarkan kepada kami tentang ilmunya."

Ada seorang musyrik bertanya kepada Salman Al-Farisi Radhiyallahu 'anhu : " Apakah Nabi kalian mengajarkan sampai tentang tatacara buang hajat ..?".
Salman menjawab : "Ya, beliau telah melarang kami menghadap kiblat ketika buang hajat, dan membersihkan hajat dengan kurang dari tiga batu, atau dengan tangan kanan atau dengan kotoran kering atau dengan tulang."

Allah Telah Menjelaskan Ushul dan Furu' Agama Dalam Al-Qur'anul Karim
Anda tentu tahu bahwa Allah Subhanahu wa Ta'ala telah menjelaskan dalam Al-Qur'an tentang ushul (pokok-pokok) dan furu' (cabang-cabang) agama Islam. Allah telah menjelaskan tentang tauhid dengan segala macam-macamnya, sampai tentang bergaul sesama manusia seperti tatakrama pertemuan, tatacara minta izin dan lain sebagainya.

Sebagaimana firman Allah Ta'ala :
"Artinya : Hai orang-orang yang beriman, apabila dikatakan kepadamu :'Berlapang-lapanglah dalam majlis', maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu" [Al-Mujaadalah : 11].

Dan firman-Nya :
"Artinya : Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah yang bukan rumahmu sebelum minta izin dan memberi salam kepada penghuninya, yang demikian itu lebih baik bagimu, agar kamu selalu ingat. Jika kamu tidak menemui seseorang di dalamnya, maka janganlah kamu masuk sebelum kamu mendapat izin. Dan jika dikatakan kepadamu : 'Kembalilah !' maka hendaklah kamu kembali. Itu lebih bersih bagimu, dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan" [An-Nuur : 27-28].

Allah Subhanahu wa Ta'ala telah menjelaskan pula kepada kita dalam Al-Qur'an tentang cara berpakaian. Firman-Nya :
"Artinya : Dan perempuan-perempuan tua yang telah terhenti (dari haid dan mengandung) yang tiada ingin kawin (lagi) tiadalah atas mereka dosa menanggalkan pakaian mereka[2] dengan tidak (bermaksud) menampakkan perhiasan" [An-Nuur : 60].
"Artinya : Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mu'min : 'Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya[3] ke seluruh tubuh mereka'. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha penyayang" [Al-Ahzaab : 59].
"Artinya : Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasaan yang mereka sembunyikan ..." [An-Nuur : 31]

Dengan demikian, tidak ada sesuatu yang dibutuhkan oleh manusia baik yang menyangkut masalah kehidupan di akhirat maupun masalah kehidupan di dunia, kecuali telah dijelaskan Allah dalam Al-Qur'an secara tegas atau dengan isyarat, secara tersurat maupun tersirat.

Adapun firman Allah Ta'ala :
"Artinya : Dan tiadalah binatang-binatang yang ada di bumi dan burung-burung yang terbang dengan kedua sayapnya, melainkan umat-umat (juga) seperti kamu. Tiadalah Kami alpakan sesuatupun di dalam al-kitab. Kemudian kepada Tuhanlah mereka dihimpunkan" [Al-An'aam : 38].

Ada yang menafsirkan ''al-kitab" disini adalah Al-Qur'an. Padahal sebenarnya yang dimaksud yaitu "Lauh Mahfuzh". Karena apa yang dinyatakan Allah Subhanahu wa Ta'ala tentang Al-Qur'an dalam firman-Nya yang artinya :"Dan Kami turunkan kepadamu kitab (Al-Qur'an) untuk menjelaskan segala sesuatu". Lebih tegas dan lebih jelas daripada yang dinyatakan dalam firman-Nya :
yang artinya : "Tidaklah Kami alpakan sesuatupun di dalam al-kitab."

Mungkin ada orang yang bertanya : "Adakah ayat di dalam Al-Qur'an yang menjelaskan jumlah shalat lima waktu berikut bilangan raka'at tiap-tiap shalat ? Bagaimanakah dengan firman Allah yang menjelaskan bahwa Al-Qur'an diturunkan untuk menerangkan segala sesuatu, padahal kita tidak menemukan ayat yang menjelaskan bilangan raka'at tiap-tiap shalat ?". Jawabnya : Allah Subhanahu wa Ta'ala telah menjelaskan di dalam Al-Qur'an bahwasanya kita di wajibkan mengambil dan mengikuti segala apa yang telah disabdakan dan ditunjukkan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Hal ini berdasarkan atas firman Allah Ta'ala :

"Artinya : Barangsiapa yang mentaati Rasul itu, sesungguhnya ia telah mentaati Allah" [An-Nisaa : 80].

"Artinya : Dan apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah" [Al-Hasyr : 7].

Maka segala sesuatu yang telah dijelaskan oleh sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, sesungguhnya Al-Qur'an telah menunjukkannya pula. Karena sunnah termasuk juga wahyu yang diturunkan dan diajarkan oleh Allah kepada Rasulullah Shalallallahu 'alaihi wa sallam. Sebagaimana disebutkan dalam firman-Nya :

"Artinya : Dan Allah telah menurunkan Al-Kitab (Al-Qur'an) dan Al-Hikmah (As-Sunnah) kepadamu" [An-Nisaa : 113].

Dengan demikian, apa yang disebutkan dalam sunnah maka sebenarnya telah disebutkan pula dalam Al-Qur'an.

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam Telah Menjelaskan pula Seluruh Agama.
Pembaca yang budiman,
Apabila saudara telah mengakui dan meyakini akan hal-hal di atas, maka apakah masih ada sesuatu hal tentang agama yang dapat mendekatkan kepada Allah belum dijelaskan oleh Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam sampai beliau wafat ?

Tentu tidak. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam telah menerangkan segala sesuatu berkenan dengan agama, baik melalui perkataan, perbuatan atau persetujuan beliau. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam telah menerangkannya langsung dari inisiatif beliau, atau sebagai jawaban atas pertanyaan. Kadangkala, dengan kehendak Allah, ada seorang Badui datang kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam untuk bertanya tentang sesuatu masalah dalam agama, sementara para sahabat yang selalu menyertai Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak menanyakan hal tersebut. Karena itu para sahabat merasa senang apabila ada seorang Badui datang untuk bertanya kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.

Sebagai bukti bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam telah menjelaskan segala apa yang diperlukan manusia dalam ibadah, mu'amalah dan kehidupan mereka, yaitu firman Allah Ta'ala :
"Artinya : Pada hari ini telah Ku sempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku cukupkan kepadamu ni'mat-Ku, dan telah Ku ridhai Islam itu jadi agama bagimu" [Al-Maa'idah : 3].


Setiap Bid'ah Adalah Kesesatan

Sabda Rasulullah Shalallahu alaihi wa sallam :
"Artinya : Jauhilah perkara-perkara baru, karena setiap perkara baru adalah bid'ah, setiap bid'ah adalah kesesatan, dan setiap kesesatan masuk dalam neraka."

Sabda beliau : "setiap bid'ah" bersifat umum dan menyeluruh, dan mereka mengetahui hal itu. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam yang menyampaikan maklumat umum ini, tahu akan konotasi apa yang disampaikannya. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah manusia yang paling fasih, paling tulus terhadap umatnya, tidak mengatakan kecuali apa yang dipahami maknanya, Maka ketika Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda : "Kullu bid'atin dhalalah", Beliau menyadari apa yang diucapkan, mengerti betul akan maknanya, dan ucapan ini timbul dari beliau karena beliau benar-benar tulus terhadap umatnya.

Apabila suatu perkataan memenuhi ketiga unsur ini, yaitu : diucapkan dengan penuh ketulusan, penuh kefasihan dan penuh pengertian, maka perkataan tersebut tidak mempunyai konotasi lain kecuali makna yang dikandungnya.
Dengan pernyataan umum tadi, benarkah bahwa bid'ah dapat kita bagi menjadi tiga bagian, atau lima bagian ? Sama sekali tidak benar. Adapun pendapat sebagian ulama yang mengatakan bahwa ada bid'ah hasanah, maka pendapat tersebut tidak lepas dari dua hal.

Pertama : kemungkinan tidak termasuk bid'ah tapi dianggapnya sebagai bid'ah.
Kedua : kemungkinan termasuk bid'ah, yang tentu saja sayyi'ah (buruk), tetapi dia tidak mengetahui keburukannya.

Jadi setiap perkara yang dianggapnya sebagai bid'ah hasanah, maka jawabannya adalah demikian tadi. Dengan demikian, tak ada jalan lagi bagi ahli bid'ah untuk menjadikan sesuatu bid'ah mereka sebagai bid'ah hasanah, karena kita telah mempunyai senjata ampuh dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, yaitu :

"Artinya : Setiap bid'ah adalah kesesatan"

Senjata itu bukan dibuat di sembarang pabrik, melainkan datang dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan dibuat sedemikian sempurna. Maka barangsiapa yang memegang senjata ini tidak akan dapat dilawan oleh siapapun dengan bid'ah yang dikatakannya sebagai hasanah, sementara Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah menyatakan : "Setiap bid'ah adalah kesesatan".


Beberapa Pertanyaan dan Jawabannya

Mungkin ada di antara pembaca yang bertanya : Bagaimanakah pendapat anda tentang perkataan Umar bin Khatab Radhiyallahu 'Anhu setelah memerintahkan kepada Ubay bin Ka'ab dan Tamim Ad-Dari agar mengimami orang-orang di bulan Ramadhan. Ketika keluar mendapatkan para jama'ah sedang berkumpul dengan imam mereka, beliau berkata : "inilah sebaik-baik bid'ah ... dst".

Jawabnya :
Pertama : Bahwa tak seorangpun di antara kita boleh menentang sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, walaupun dengan perkataan Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali atau dengan perkataan siapa saja selain mereka. Karena Allah Ta'ala berfirman :
"Artinya : Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintahnya (Rasul) takut akan ditimpa fitnah atau ditimpa adzab yang pedih" [An-Nuur : 63].

Imam Ahmad bin Hambal berkata : "Tahukah anda, apakah yang dimaksud dengan fitnah ?. Fitnah, yaitu syirik. Boleh jadi apabila menolak sebagian sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam akan terjadi pada hatinya suatu kesesatan, akhirnya akan binasa".

Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhu berkata :
"Hampir saja kalian dilempar batu dari atas langit. Kukatakan : Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, tapi kalian menentangnya dengan ucapan Abu Bakar dan Umar".

Kedua : Kita yakin kalau Umar Radhiyallahu 'anhu termasuk orang yang sangat menghormati firman Allah Ta'ala dan sabda Rasul-Nya Shallallahu alaihi wa sallam. Beliaupun terkenal sebagai orang yang berpijak pada ketentuan-ketentuan Allah, sehingga tak heran jika beliau mendapat julukan sebagai orang yang selalu berpegang teguh kepada kalamullah. Dan kisah perempuan yang berani menyanggah pernyataan beliau tentang pembatasan mahar (maskawin) dengan firman Allah :
yang artinya : " ...sedang kamu telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak ..." (An-Nisaa : 20)
bukan rahasia lagi bagi umum, sehingga beliau tidak jadi melakukan pembatasan mahar.

Sekalipun kisah ini perlu diteliti lagi tentang keshahihahnya, tetapi dimaksudkan dapat menjelaskan bahwa Umar adalah seorang yang senantiasa berpijak pada ketentuanketentuan Allah, tidak melanggarnya.

Oleh karena itu, tak patut bila Umar Radhiyallahu 'anhu menentang sabda Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam dan berkata tentang suatu bid'ah : "Inilah sebaik-baik bid'ah", padahal bid'ah tersebut termasuk dalam kategori sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam : "Setiap bid'ah adalah kesesatan".
Akan tetapi bid'ah yang dikatakan oleh Umar, harus ditempatkan sebagai bid'ah yang tidak termasuk dalam sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tersebut. Maksudnya : adalah mengumpulkan orang-orang yang mau melaksanakan shalat sunat pada malam bulan Ramadhan dengan satu imam, di mana sebelumnya mereka melakukannya sendiri-sendiri.

Sedangkan shalat sunat ini sendiri sudah ada dasarnya dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, sebagaimana dinyatakan oleh Sayyidah Aisyah Radhiyallahu 'anha berkata : "Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah melakukan qiyamul lail (bersama para sahabat) tiga malam berturut-turut, kemudian beliau menghentikannnya pada malam keempat, dan bersabda :
"Artinya : Sesungguhnya aku takut kalau shalat tersebut diwajibkan atas kamu, sedanghkan kamu tidak mampu untuk melaksanakannya" [Hadits Riwayat Al-Bukhari dan Muslim].

Jadi qiyamul lail (shalat malam) di bulan Ramadhan dengan berjamaah termasuk sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Namun disebut bid'ah oleh Umar Radhiyallahu anhu dengan pertimbangan bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam setelah menghentikannya pada malam keempat, ada di antara orang-orang yang melakukannya sendiri-sendiri, ada yang melakukannya secara berjama'ah dengan orang banyak. Akhirnya Amirul Mu'minin Umar Radhiyallahu 'anhu dengan pendapatnya yang benar mengumpulkan mereka dengan satu imam. Maka perbuatan yang dilakukan oleh Umar ini disebut bid'ah, bila dibandingkan dengan apa yang dilakukan oleh orang-orang sebelum itu. Akan tetapi sebenarnya bukanlah bid'ah, karena pernah dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.

Dengan penjelasan ini, tidak ada suatu alasan apapun bagi ahli bid'ah untuk menyatakan perbuatan bid'ah mereka sebagai bid'ah hasanah.

Mungkin juga di antara pembaca ada yang bertanya : Ada hal-hal yang tidak pernah dilakukan pada masa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, tetapi disambut baik dan diamalkan oleh umat Islam, seperti; adanya sekolah, penyusunan buku, dan lain sebagainya. Hal-hal baru seperti ini dinilai baik oleh umat Islam, diamalkan dan dipandang sebagai amal kebaikan. Lalu bagaimana hal ini, yang sudah hampir menjadi kesepakatan kaum Muslimin, dipadukan dengan sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam : "Setiap bid'ah adalah kesesatan" ?
Jawabnya : Kita katakan bahwa hal-hal seperti ini sebenarnya bukan bid'ah, melainkan sebagai sarana untuk melaksanakan perintah, sedangkan sarana itu berbeda-beda sesuai tempat dan zamannya. Sebagaimana disebutkan dalam kaedah : "Sarana dihukumi menurut tujuannya". Maka sarana untuk melaksanakan perintah, hukumnya diperintahkan ; sarana untuk perbuatan yang tidak diperintahkan, hukumnya tidak diperintahkan ; sedang sarana untuk perbuatan haram, hukumnya adalah haram. Untuk itu, suatu kebaikan jika dijadikan sarana untuk kejahatan, akan berubah hukumnya menjadi hal yang buruk dan jahat.

Firman Allah Ta'ala :

"Artinya : Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan" [Al-An'aam : 108].

Padahal menjelek-jelekkan sembahan orang-orang yang musyrik adalah perbuatan hak dan pada tempatnya. Sebaliknya, mejelek-jelekan Rabbul 'Alamien adalah perbuatan durjana dan tidak pada tempatnya. Namun, karena perbuatan menjelek-jelekkan dan memaki sembahan orang-orang musyrik menyebabkan mereka akan mencaci maki Allah, maka perbuatan tersebut dilarang. Ayat ini sengaja kami kutip, karena merupakan dalil yang menunjukkan bahwa sarana dihukumi menurut tujuannya. Adanya sekolah-sekolah, karya ilmu pengetahuan dan penyusunan kitab-kitab dan lain sebagainya walaupun hal baru dan tidak ada seperti itu pada zaman Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, namun bukan tujuan, tetapi merupakan sarana. Sedangkan sarana dihukumi menurut tujuannya. Jadi seandainya ada seseorang membangun gedung sekolah dengan tujuan untuk pengajaran ilmu yang haram, maka pembangunan tersebut hukumnya adalah haram. Sebaliknya, apabila bertujuan untuk pengajaran ilmu syar'i, maka pembangunannya adalah diperintahkan.

Jika ada pula yang mempertanyakan :
Bagaimana jawaban anda terhadap sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam :
"Artinya : Siapa yang memulai memberi contoh kebaikan dalam Islam maka ia mendapat pahala perbuatannya dan pahala orang-orang yang mengikuti (meniru) perbuatannya itu ..".
"Sanna" di sini artinya : membuat atau mengadakan.

Jawabnya : Bahwa orang yang menyampaikan ucapan tersebut adalah orang yang menyatakan pula : "Setiap bid'ah adalah kesesatan". yaitu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Dan tidak mungkin sabda beliau sebagai orang yang jujur dan terpercaya ada yang bertentangan satu sama lainnya, sebagaimana firman Allah juga tidak ada yang saling bertentangan. Kalau ada yang beranggapan seperti itu, maka hendaklah ia meneliti kembali. Anggapan tersebut terjadi mungkin karena dirinya yang tidak mampu atau karena kurang jeli. Dan sama sekali tidak akan ada pertentangan dalam firman Allah Subhanahu wa Ta'ala atau sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.

Dengan demikian tidak ada pertentangan antara kedua hadits tersebut, karena Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menyatakan : "Man sanna fil Islaam", yang artinya : "Barangsiapa berbuat dalam Islam", sedangkan bid'ah tidak termasuk dalam Islam; kemudian menyatakan : "sunnah hasanah", berarti : "Sunnah yang baik", sedangkan bid'ah bukan yang baik. Tentu berbeda antara berbuat sunnah dan mengerjakan bid'ah.

Jawaban lainnya, bahwa kata-kata "Man Sanna" bisa diartikan pula : "Barangsiapa menghidupkan suatu sunnah", yang telah ditinggalkan dan pernah ada sebelumnya. Jadi kata "sanna" tidak berarti membuat sunnah dari dirinya sendiri, melainkan menghidupkan kembali suatu sunnah yang telah ditinggalkan.

Ada juga jawaban lain yang ditunjukkan oleh sebab timbulnya hadits di atas, yaitu kisah orang-orang yang datang kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan mereka itu dalam keadaan yang amat sulit. Maka beliau menghimbau kepada para sahabat untuk mendermakan sebagian dari harta mereka. Kemudian datanglah seorang Anshar dengan membawa sebungkus uang perak yang kelihatannya cukup banyak, lalu diletakkannya di hadapan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Seketika itu berseri-serilah wajah beliau dan bersabda :

"Artinya : Siapa yang memulai memberi contoh kebaikan dalam Islam maka ia mendapat pahala perbuatannya dan pahala orang-orang yang mengikuti (meniru) perbuatannya itu ..."

Dari sini, dapat dipahami bahwa arti "sanna" ialah : melaksanakan (mengerjakan), bukan berarti membuat (mengadakan) suatu sunnah. Jadi arti dari sabda beliau : "Man Sanna fil Islaami Sunnatan Hasanan", yaitu : "Barangsiapa melaksanakan sunnah yang baik", bukan membuat atau mengadakannya, karena yang demikian ini dilarang. Berdasarkan sabda beliau : "Kullu bid'atin dhalaalah".

Syarat Yang Harus Dipenuhi Dalam Ibadah
Perlu diketahui bahwa mutaba'ah (mengikuti Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam) tidak akan tercapai kecuali apabila amal yang dikerjakan sesuai dengan syari'at dalam enam perkara.

Pertama Sebab
Jika seseorang melakukan suatu ibadah kepada Allah dengan sebab yang tidak disyari'atkan, maka ibadah tersebut adalah bid'ah dan tidak diterima (ditolak). Contoh : Ada orang yang melakukan shalat tahajud pada malam dua puluh tujuh bulan Rajab, dengan dalih bahwa malam itu adalah malam Mi'raj Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam (dinaikkan ke atas langit). Shalat tahajud adalah ibadah, tetapi karena dikaitkan dengan sebab tersebut menjadi bid'ah. Karena ibadah tadi didasarkan atas sebab yang tidak ditetapkan dalam syari'at. Syarat ini -yaitu : ibadah harus sesuai dengan syari'at dalam sebab - adalah penting, karena dengan demikian dapat diketahui beberapa macam amal yang dianggap termasuk sunnah, namun sebenarnya adalah bid'ah.

Kedua Jenis
Artinya : ibadah harus sesuai dengan syari'at dalam jenisnya. Jika tidak, maka tidak diterima. Contoh : Seorang yang menyembelih kuda untuk kurban adalah tidak sah, karena menyalahi ketentuan syari'at dalam jenisnya. Yang boleh dijadikan kurban yaitu unta, sapi dan kambing.

Ketiga Kadar (Bilangan)
Kalau seseorang yang menambah bilangan raka'at suatu shalat, yang menurutnya hal itu diperintahkan, maka shalat tersebut adalah bid'ah dan tidak diterima, karena tidak sesuai dengan ketentuan syari'at dalam jumlah bilangan rakaatnya. Jadi, apabila ada orang shalat zhuhur lima raka'at, umpamanya, maka shalatnya tidak sah.

Keempat Kaifiyah (Cara)
Seandainya ada orang berwudhu dengan cara membasuh tangan, lalu muka, maka tidak sah wudhunya karena tidak sesuai dengan cara yang ditentukan syari'at.

Kelima Waktu
Apabila ada orang yang menyembelih binatang kurban pada hari pertama bulan Dzul Hijjah, maka tidak sah, karena waktu melaksanakannya tidak menurut ajaran Islam. Saya pernah mendengar bahwa ada orang bertaqarrub kepada Allah pada bulan Ramadhan dengan menyembelih kambing. Amal seperti ini adalah bid'ah, karena tidak ada sembelihan yang ditujukan untuk bertaqarrub kepada Allah kecuali sebagai kurban, denda haji dan akikah. Adapun menyembelih pada bulan Ramadhan dengan i'tikad mendapat pahala atas sembelihan tersebut sebagaimana dalam Idul Adha adalah bid'ah. Kalau menyembelih hanya untuk memakan dagingnya, boleh saja.

Keenam Tempat
Andaikata ada orang beri'tikaf di tempat selain masjid, maka tidak sah i'tikafnya. Sebab tempat i'tikaf hanyalah di masjid. Begitu pula, andaikata ada seorang wanita hendak beri'tikaf di dalam mushalla di rumahnya, maka tidak sah i'tikafnya, karena tempat melakukannya tidak sesuai dengan ketentuan syari'at, Contoh lainnya : Seseorang yang melakukan thawaf di luar Masjid Haram dengan alasan karena di dalam sudah penuh sesak, tahawafnya tidak sah, karena tempat melakukan thawaf adalah dalam Baitullah tersebut, sebagaimana firman Allah Ta'ala :

"Artinya : Dan sucikanlah rumah-Ku ini bagi orang-orang yang thawaf" [Surah Al-Hajj : 26].

Penutup
Pegang teguhlah sunnah Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam, ikutilah jejak para salaf shaleh, dan perhatikanlah apakah hal itu akan merugikan anda? Dan kami katakan, dengan sesungguhnya, bahwa anda akan mendapatkan kebanyakan orang yang suka mengerjakan bid'ah merasa enggan dan malas untuk mengerjakan hal hal yang sudah jelas diperintahkan dan disunnahkan. Jika mereka selesai melakukan bid'ah, tentu mereka menghadapi sunnah yang telah ditetapkan dengan rasa engggan dan malas. Itu semua merupakan dampak dari bid'ah terhadap hati. Bid'ah, besar dampaknya terhadap hati dan amat berbahaya bagi agama. Tidak ada suatu kaum melakukan bid'ah dalam agama Allah melainkan mereka telah pula menghilangkan dari sunnah yang setara dengannya atau melebihinya, sebagaimana hal ini dinyatakan oleh seorang ulama salaf.

Akan tetapi apabila seseorang merasa bahwa dirinya adalah pengikut dan bukan pembuat syari'at, maka akan tercapai olehnya kesempurnaan takut, tunduk, patuh dan ibadah kepada Rabbul 'alamien serta kesempurnaan ittiba' (keikutsertaan) kepada Imamul Muttaqin, Sayyidul Mursalin, Rasulullah Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam.
Beramallah dengan didasari ikhlas dan sunnah, bukan syirik dan bid'ah ; menurut apa yang diridhai Allah, bukan apa yang disenangi syaitan. Dan hendaklah mereka memperhatikan apakah yang dapat dicapai oleh hati mereka, berupa keselamatan, kehidupan, ketenangan, kebahagian dan nur yang agung.

Semoga Allah menjadikan kita sebagai penunjuk jalan yang mendapat petunjuk-Nya dan pemimpin yang membawa kebaikan, memerangi hati kita dengan iman dan ilmu, menjadikan ilmu yang kita miliki membawa berkah dan bukan bencana. Serta semoga Allah membimbing kita kepada jalan para hamba-Nya yang beriman, menjadikan kita termasuk para auliya-Nya yang bertakwa dan golongan-Nya yang beruntung.

Shalawat dan salam semoga tetap dilimpahkan Allah kepada Nabi Kita, Muhammad, kepada keluarga dan para sahabatnya.
Wallahu ‘alam bishowab
--------------------------------------------------------------------------------
Sumber :

• Al-Ibdaa' fi Kamaalis Syar'i wa Khatharil Ibtidaa', , edisi Indonesia Kesempurnaan Islam dan Bahaya Bid'ah, karya Syaikh Muhammad bin Sholeh Al-'Utsaimin, penerjemah Ahmad Masykur MZ, penerbit Yayasan Minhajus Sunnah, Bogor - Jabar.
• Bidah-Bidah yang Dianggap Sunnah Oleh Syaikh Muhammad Abdussalam
• Kupas Tuntas Bidah oleh Syaikh Ali Mahfuzh
• Tasyabuh yang Dilarang dalam Fiqih Islam oleh Jamil bin Habib al-Luwaihiq
• Bincang-bincang Seputar Tahlilan, Yasinan dan Maulidan, oleh : Ust. Abu Ihsan Al Atsari
• Kupas Tuntas Bidah, oleh : Syaikh Ali Mahfuzh

Tidak ada komentar: