02 Februari 2010

Merajut Ta’awun Syar’i Antara Pasutri


Tolong menolong pasutri dalam bingkai syari'ah

Sudah merupakan sunatulloh dalam kehidupan dunia ini, bahwa suami istri secara bersama-sama bergandeng tangan memakmurkan dan mengatur kegiatan-kegiatan kehidupan dunia yang dimulai dari rumah tangga mereka. Suami selalu butuh kepada istri, begitu pula sebaliknya. Dari sini, syari’at Islam memberikan petunjuk agar kaum muslimin secara umum dan pasutri secara khusus, mempunyai sifat ta’awun (saling menolong) dalam kebajikan sebatas kemampuan yang dimilikinya dan menjauh secara total ta’awun dalam dosa dan permusuhan. Allah ta’ala berfirman:

“….dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. dan bertakwalah kamu kepada Allah, Sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya”. (QS. Al-Maidah: 2)
Kebajikan yang dimaksud dalam ayat ini adalah mengamalkan semua perintah Allah. Sedangkan takwa adalah menjauhi segala larangan Allah ta’ala, menjauhi bermaksiat kepada-Nya. Dari makna ini, kita dapat mengetahui bahwa ruang lingkup ta’awun syar’i antara pasutri sungguh sangatlah luas, diantaranya:

1. Bekerja sama dalam beribadah kepada Allah ta’ala.
Sebagai contoh adalah membaca al-Qur’an. Akan sangat bagus seandainya pasutri mengkhususkan waktu tertentu untuk membacanya dengan cara saling menyimak bacaannya. Atau membangunkan salah satu dari keduanya di malam hari, untuk melaksanakan sholat malam, dan ibadah-ibadan lainnya. Sesungguhnya hal yang seperti ini akan menumbuhkan kecintaan antara keduanya, kehidupannya akan diberkahi dan penuh dengan kebahagiaan. Ini ketika keduanya di dunia, adapun di akhirat kelak tentu mereka akan mendapatkan sebaik-baik pahala. Allah ta’ala berfirman:
“Dan ia menyuruh ahlinya (keluarganya) untuk shalat dan menunaikan zakat. Dan ia adalah seorang yang diridloi di sisi Rabb-nya” (QS. Maryam: 55)
Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:
“Semoga Allah merahmati seorang laki-laki yang bangun malam lalu membangunkan keluarganya. Jika keluarganya enggan, ia mengambil air dan menyiramkannya ke wajahnya. Semoga Allah merahmati seorang wanita yang bangun malam lalu membangunkan keluarganya. Jika keluarganya enggan, ia mengambil air dan menyiramkannya ke wajah.” (HR. Abu Dawud 1113)

2. Bekerja sama dalam mentarbiyah (mendidik) anak.
Di kedua pundak pasutri terdapat amanat yang besar lagi pokok, yakni mentarbiyah anak-anak mereka untuk senantiasa berpegang pada akhlak-akhlak mulia, mengerjakan kebajikan-kebajikan, meninggalkan kejelekan dan kerendahan serta melakukan hal-hal yang dicintai dan diridloi oleh Allah, baik berupa ucapan maupun perbuatan, sebagaimana firman Allah ta’ala:
”Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS. At-Tahrim: 6)
Rumah merupakan madrasah pertama dan utama bagi anak. Kebaikan anak sangat bergantung kepada kebaikan tarbiyah di rumah, demikian pula sebaliknya. Sedangkan baik-buruknya tarbiyah di rumah sangat bergantung pada kerapian kerja sama antara kedua pasutri dalam mentarbiyah anak mereka.

3. Bermusyawarah dalam menyelesaikan masalah
Hal ini telah dipraktikkan langsung oleh Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam. Sungguh Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam telah bermusyawarah dengan istri-istrinya, dan beliau juag mengambil pendapat mereka. Perhatikanlah kejadian pada masa perjanjian Hudaibiyah. Ketika Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam selesai mengadakan perjanjian, beliau bersabda kepada para sahabatnya:
”Berdirilah kalian dan menyembelihlah lalu cukurlah rambut-rambut kalian !”.
Demi Allah, tak seorang pun mau melaksanakan seruan beliau tersebut. Melihat peristiwa ini, beliau pun masuk ke tempat Ummu Salamah radliyallahu’anha dan menceritakan peristiwa yang beliau alami. Mendengar penuturan Rasulullah tersebut, Ummu Salamah radliyallahu’anha berkata:
”Wahai Nabiyullah, apakah Anda suka hal itu (perintah Anda dilaksanakan) ?, keluarlah dan jangan bicara satu kalimat pun dengan salah seorang diantara mereka sehingga Anda menyembelih unta-unta Anda, dan Anda memanggil seorang pencukur kemudian ia mencukur rambut Anda”.

Maka Rasulullah pun mengerjakan apa yang disarankan Ummu Salamah radliyallahu’anha. Ketika para sahabat melihat Rasulullah menyembelih Unta dan mencukur rambutnya, mereka pun berbuat semisal perbuatan Rasulullah tersebut.
(HR. Bukhori 2529)

4. Suami membantu istri mengurus anak-anaknya
Tidak diragukan lagi bahwa hal ini merupakan akhlak yang sangat terpuji bagi seorang suami, dan merupakan sarana yang amat bagus bagi seorang bapak untuk mengenali hajat material dan spiritual anak. Dengan melakukan itu dia bisa lebih akrab dengan anak-anaknya dan bisa mengawasi kegiatan-kegiatan mereka sehari-hari dari dekat.
Bukanlah aib jika suami membantu istrinya merawat dan mengurus anak-anaknya, terutama jika seorang istri memiliki pekerjaan lain selain merawat dan mengurus anak. Hal ini lebih sangat dibutuhkan lagi ketika seorang istri sedang sakit atau anaknya sedang sakit. Tidak selayaknya seorang suami yang mengetahui istrinya sedang sakit kemudian membiarkannya sendiri mengurus anak-anak, atau ketika anaknya sedang sakit ia membiarkannya mengurus anaknya sendirian tanpa dibantu sama sekali. Bagaimanapun juga mereka adalah anak mereka berdua, bukan hanya anak sang istri.
Hendaknya seorang suami menyadari bahwa bantuannya kepada istri ketika ia atau anaknya sedang sakit sangatlah dibutuhkan dan merupakan sebuah kemestian. Ia wajib melakukan hal ini sehingga dengannya akan sempurna kebahagiaan keluarga dan kebahagiaan akhirat.

5. Suami membantu istri menyelesaikan pekerjaan rumah
Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam sebagai suri tauladan seluruh kaum muslimin memberikan contoh yang bagus dalam mewujudkan ta’awun syar’i dalam rumah tangga pasutri ini, yaitu dengan membantu istri untuk menyelesaikan pekerjaan rumah. Berikut ini penuturan Aisyah radliyallahu’anha tentang Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam dan bekerja sama beliau dengan istrinya ketika berada di rumah:
Dari al-Aswad radliyallahu’anhu beliau berkata: ”Aku bertanya kepada Aisyah tentang apa yang dilakukan oleh Rasululah shallallahu’alaihi wa sallam di rumahnya, maka Aisyah menjawab: ’Beliau membantu istrinya, dan jika datang waktu shalat, beliau keluar untuk shalat’”. (HR. Bukhori 676)

Dalam riwayat lain, Aisyah radliyallahu’anha mengatakan: ”Nabi menjahit pakaiannya sendiri, menjahit sandalnya dan bekerja sabagaimana yang dilakukan oleh kaum laki-laki di rumah mereka”. (Lihat shahih jami’ush shogir 4937)

Semoga kita , insya Allah termasuk ke dalam golongan pasutri yang senantiasa merajut ta’awun syar’i menuju ridlo Ilahi dan kebehagiaan akhirat yang hakiki. Amiin.


Sumber:
Majalah al-Mawaddah edisi ke-8 tahun ke-2 Rabiul Awal 1430 H/ Maret 2009, hal. 37-38.
Ust. Abu Zahroh al-Anwar

16 Januari 2010

Tanda-Tanda Sakit Hati Dan Mengembalikannya Agar Sehat Kembali Serta Cara Mengetahui Orang Lain Dan Aib Dirinya



Ibnu Qudamah
________________________________________
Pengantar:
Ibnu Qudamah pengarang kitab fikih Al-Mughni telah meringkas kitab Minhajul Qoshidin karya Abul Faraj bin Jauzi (Ibnu Jauzi). Kitab ini penuh berisi nasehat yang disajikan berdasarkan kepada dalil-dalil syar'i dengan memperhatikan keshahihan hadits, seperti diterangkan dalam muqodimahnya. Boleh jadi mushanif (pengarang) tidak mencantumkan, Allah berfirman... atau Rasulullah shallallahu 'alaihi wassalam bersabda..., akan tetapi tamsil dan untaian kalimatnya yang penuh hikmah merupakan pengejawantahan dari qur'an dan sunnah itu sendiri. Jadi kalau kita cari bisa kita dapatkan sederet dalil yang mendukung hujjah (argumentasi)nya. Di sisi lain kitab ini sampai pada kita lewat tangan dua ulama salaf ahlus sunnah yang diakui keilmuannya, hingga cukuplah kiranya untuk memberi kita kemantapan dalam menerima nasehatnya. Saya sampaikan ini karena saya dengar ada di antara kita yang ragu-ragu dalam mengambil hikmah dari kitab ini. Berikut ini adalah sekelumit nasehat yang saya ambil dari kitab tersebut. Boleh jadi ia menjadi obat mujarab bagi yang membutuhkan kendati saya sendiri tak kuasa menelannya. Agar tidak terlalu panjang saya potong jadi dua. (ALS)
________________________________________

Setiap anggota badan manusia diperuntukkan untuk tugas yang khusus. Adapun tanda sakitnya ialah ketidakmampuannya melaksanakan tugas itu, atau tugas itu bisa dilaksanakan dalam keadaan kacau. Tangan yang sakit terlihat dari ketidakmampuannya memegang. Mata yang sakit terlihat dari ketidakmampuannya melihat. Hati yang sakit terlihat dari ketidakmampuannya melaksanakan tugas khusus yang karenanya ia diciptakan, yaitu ilmu, hikmah, ma'rifat, mencintai Allah dan beribadah kepada-Nya serta mementingkan semua ini daripada setiap bisikan nafsu.
Orang yang mengetahui segala sesuatu, tetapi tidak mengetahui Allah, seakan-akan dia tidak mengetahui sesuatu pun.

Tanda ma'rifat adalah cinta. Siapa yang mengetahui Allah tentu mencintai-Nya. Adapun tanda cinta adalah tidak mementingkan sesuatu dari sekian banyak hal-hal yang dicintainya daripada Allah. Siapa yang lebih mementingkan sesuatu yang dicintainya daripada cintanya kepada Allah, berarti hatinya sakit, sebagaimana perut yang yang lebih suka memakan tanah daripada roti, maka perutnya tidak beres alias sakit.
Penyakit hati ini tersembunyi. Boleh jadi pemiliknya tidak tahu, karena itu dia mengabaikannya. Kalau pun tahu, mungkin dia tidak sabar menanggung pahitnya obat, karena obatnya adalah menentang nafsu. Kalaupun dia sabar, belum tentu dia mendapatkan dokter yang bisa mengobatinya. Dokter di sini adalah para ulama. Sementara penyakit pun sudah menjangkiti mereka. Dokter yang sakit jarang yang mau mengobati orang lain yang sakit, sehingga penyakit menjadi menyebar kemana-mana dan ilmu pun hilang, obat hati dan penyakit hati sama-sama dibiarkan, manusia hanya sekedar melakukan ibadah-ibadah zhahir, sedangkan di dalam batinnya hanya sekedar tradisi. Inilah yang disebut tanda sumber penyakit.

Untuk mengetahui keadaan agar segar kembali setelah berusaha melakukan pengobatan ialah dengan melihat jenis penyakitnya. Pengobatan penyakit kikir ialah dengan mengeluarkan harta, tapi tidak perlu berlebih-lebihan dan boros. Penyakit lain dengan pengobatannya sendiri-sendiri, seperti panas dengan dingin agar tidak semakin panas dan tidak menjadi terlalu dingin, agar tidak menjadi penyakit baru. Yang dituntut adalah jalan tengah.
Jika engkau ingin melihat jalan tengah ini, lihatlah kepada dirimu sendiri. Jika menumpuk harta dan mempertahankannya lebih engkau sukai dan lebih mudah daripada mengeluarkannya sekalipun kepada orang yang berhak, maka ketahuilah bahwa yang ada pada dirimu adalah sifat kikir. Maka obatilah jiwamu dengan mengeluarkan harta itu. Jika mengeluarkan harta itu kepada orang, yang lebih engkau sukai, maka tahanlah sedikit harta itu, karena yang ada pada dirimu adalah pemborosan. Janganlah engkau lebih condong untuk mengeluarkan harta atau menahannya. Buatlah harta itu mengalir seperti air di sisimu. Engkau tidak menuntut air itu untuk berhenti bukan untuk suatu keperluan, atau mengalirkannya secara deras untuk orang yang memerlukannya. Setiap hari yang bisa seperti itu akan mendatangi Allah dalam keadaan selamat.
Seseorang harus terbebas dari segala akhlak (jelek), agar dia tidak mempunyai hubungan dengan sesuatu pun dari keduniaan, agar jiwa dapat meninggalkan dunia dalam keadaan memutuskan hubungan dengannya, tidak menoleh kepadanya dan tidak mengharapkannya. Pada saat itu dia akan kembali kepada Rabb-nya sebagaimana kembalinya jiwa yang muthma'inah.
Karena jalan tengah yang hakiki antara dua sisi itu cukup sulit dideteksi, bahkan lebih lembut daripada sehelai rambut dan lebih tajam daripada pedang, maka tidak aneh siapa yang bisa melewati jalan yang lurus ini di dunia, tentu akan bisa melewati jalan ini pula di akherat. Karena sulitnya istiqomah, maka hamba diperintahkan membaca, "Ihdinash-shirathal-mustaqim" beberapa kali setiap hari. Siapa yang tidak sanggup istiqamah, hendaklah dia berusaha mendekati istiqamah, karena keselamatan itu hanya dengan amal shalih.

Sementara itu, amal yang shalih tidak keluar kecuali dari akhlak yang baik. Maka hendaklah setiap hamba mencari sifat dan akhlaknya sendiri, hendaklah mengobati satu persatu dan hendaklah bersabar dalam masalah ini (karena dia akan mendapatkan keadaan yang enak seperti halnya anak kecil yang tadinya enggan disapih, tapi lama-kelamaan dia merasa enaknya di sapih. Bahkan andaikan dia ditawari untuk menyusu lagi, tentu dia akan menolaknya).

Siapa yang menyadari umur yang pendek jika dibanding dengan kehidupan akherat yang panjang, maka dia akan berani menanggung beratnya perjalanan selama beberapa hari, untuk mendapatkan kenikmatan yang abadi.

Dikutip dari: Al-Imam Asy-syeikh Ahmad bin Abdurrahman bin Qudamah Al-Maqdisy, "Muhtashor Minhajul Qoshidin, Edisi Indonesia: Minhajul Qashidhin Jalan Orang-orang yang Mendapat Petunjuk", penerjemah: Kathur Suhardi, Pustaka Al-Kautsar, Jakarta Timur, 1997, hal. 193-195.