11 Februari 2009

Film " Perempuan Berkalung Sorban" Melecehkan Ajaran Islam


Film ''Perempuan Berkalung Sorban'' karya Sutradara Hanung Bramantyo banyak mengandung muatan agama yang menyesatkan, sarat akan muatan penghinaan, pelecehan dan penyesatan terhadap keagungan ajaran Islam bahkan telah melecehkan Alquran dan Hadits .
''Perempuan Berkalung Sorban'' yang diadopsi dari novel karya Abidah Al Khalieqy juga berisi dialog dan adegan yang merendahkan martabat sorang Kyai, pimpinan pondok pesantren serta telah menjelek-jelekan pesantren .

Ketika saya dan istri menonton Film ''Perempuan Berkalung Sorban'' (PBS), semula berharap akan mendapatkan sebuah tontonan yang mengurai barbagai suri tauladan dalam kehidupan berumah tangga yang lebih islami, sekaligus sebuah tontonan yang menghibur , sebagaimana yang saya dapatkan ketika menonton film Ayat Ayat Cinta (AAC). Seidaknya mempunyai mutu yang setara dengan film “Ayat-Ayat Cinta”.

Namun seusai nonton film “PBS” tersebut saya hanya menuai kekecewan ,sakit hati dan luapan kegeraman. Bahkan istrikupun mengkritisi sejumlah gambar, dialog, adegan maupun
seputar isi cerita dalam film “PBS” tersebut yang kebetulan lekat dengan kehidupan seorang perempuan dan istri yang teraniaya, namun dinilainya bertentangan dengan kaidah-kaidah Islam yang selama ini dia mengerti.

Saya melihat ada sebuah kesalahan fatal, ketika Hanung Bramantyo mencoba mengedepankan pesan utama kebebasan dan kekerasan dalam rumah tangga (“perempuan”), yang bersinggungan dengan ajaran Islam serta menyandingkannya dengan kehidupan di lingkungan pesantren.
Semoga hal ini “murni” sekedar hanya sebuah kekhilafan ,dikarenakan mereka (pembuat film) kurang mendalami ajaran Islam yang sebenarnya, serta ketidak pahaman mereka terhadap sejarah, tradisi, dan karakteristik pendidikan di lingkungan kehidupan pesantren.

Sedih melihat bahwa Islam dalam film hanya menjadi simbol yang digambarkan dengan pemakaian jilbab dan kalimat2 "Islami" yang bertaburan tapi tidak selaras dengan proses pembuatannya yang terjadi ihktilaf dimana-mana , adegan seorang muslim bersentuhan dengan yang bukan mahromnya, seorang wanita muslimah yang memamerkan auratnya dan sebagainya. Mudah-mudahan sineas lain bisa belajar dari pengalaman ini sebelum berniat membuat film Islami.

Inilah yang seharusnya Hanung sadari, ia jangan berkilah berupaya membela diri, akuilah adanya sebuah kesalahan konsep dalam Film ''Perempuan Berkalung Sorban'' (PBS) ini ,dan segera meminta ma’af kepada segenap umat Islam, khususnya kepada lingkungan komunitas pesantren.

Hanung Bramantyo boleh saja berkilah, bahwa adegan dalam film “PBS” mengadopsi keadaan pesantren dan kegiatannya dari novel karya Abidah Al Khalieqy yang merupakan hasil pengamatan Abidah.
Ok,, saya setuju bahwa seorang kiai adalah manusia biasa yang tidak bisa lepas dari berbuat kesalahan, tidak semua orang muslim ta’at dalam menjalankan hukum Islam, seorang ustadz lulusan Kairo bisa saja khilaf berkhalwat dengan seorang perempuan bukan muhrim, atau bahkan seorang anak kiai bisa melakukan pezinahan dan bersikap kasar terhadap istrinya.
Namun seharusnya Hanung memberikan ruang koreksi dan paparan penjelasan yang memang diperlukan. Sehingga bagi orang awam tidak tersesat dalam memahami Islam secara benar.

Saya mencoba mengingat ingat dan menginventarisir beberapa catatan kesalahan fatal dalam Film '' PBS '', yang bertentangan dengan isi kandungan Al Qur’an dan AS Sunnah ,berikut ini papapannya :

1.
Kiai pimpinan pondok pesantren digambarkan sebagai sosok yang otoriter, arogan dan materialistis serta kurang memahami tafsir Al Qur’an dan Hadits.
Salah satu pesan yang dianggap menyesatkan dalam film itu adalah dialog antara Kiai Hanan, ayah Anissa (Joshua Pandelaky) dengan Annisa (Revalina S Temat). Dalam dialog itu, Kiai Hanan berkata, "Jelas Alquran dan Hadits mengharamkan perempuan keluar rumah sendiri tanpa muhrim, meski untuk belajar."

Dialog itu sepertinya sengaja dihadirkan secara berulang walaupun dengan adegan yang berbeda, padahal tak ada satupun ayat dalam Alquran dan Hadits yang melarang perempuan untuk keluar rumah.
Penggunaan kata ''berdasarkan Alquran dan Hadits'' dalam film itu sebagai bentuk pelecehan kitab suci yang amat menyakitkan.
Reaksi keras terhadap Film ''Perempuan Berkalung Sorban'' juga dilontarkan Imam Besar Masjid Istiqlal, KH Ali Mustafa Yakub. Pakar ilmu Hadits itu menyatakan, tak ada satu pun ayat dalam Alquran dan Hadits yang mengharamkan perempuan untuk keluar rumah.
"Yang ada justru hadits yang sebaliknya,'' tegas Kiai Ali Mustafa. ''Janganlah kamu melarang perempuan-perempuanmu untuk ke masjid (menimba ilmu),'' ucapnya mengutip sebuah hadits. Anggota Komisi Fatwa MUI itu menilai, Film ''Perempuan Berkalung Surban'' telah menyesatkan. "Mereka menggambarkan persepsi yang salah, padahal keadaan yang sebenarnya tidak seperti itu. Itu sangat tidak benar. Menurut saya film itu menyesatkan."
Kiai Ali juga menyoroti adegan Anissa menunggang kuda. ''Dalam film itu digambarkan bahwa perempuan dilarang menunggang kuda. Padahal pada zaman Nabi banyak perempuan yang sudah menunggang kuda,'' tuturnya. Menurut dia, film tersebut telah menyampaikan ajaran agama yang salah. ''Sebaiknya tidak usah ditonton.". Begitulah ucapan Pak Kiai.

2.
Buku komunis “ Bumi Manusia” karya Pramudya Ananta Tur Dibandingkan dengan Alquran serta Hadits
Sebuah pelecehan yang menyakitkan ketika dalam Film ''Perempuan Berkalung Sorban'' (PBS), ada upaya mencoba membandingkan sebuah buku yang berpaham komunis “Bumi Manusia” karya Pramudya Ananta Tur dengan Alquran serta Hadits .
Sepertinya Hanung Bramantyo miskin akan perbendaharaan pustaka buku-buku karya penulis Islam yang bermutu dan layak dipamerkan.
Kalaupun Hanung membawa pesan ingin mendobrak kebekuan dalam sebuah lingkungan pesantren tradisional yang akrab dengan kitab kuning, cobalah cari buku-buku karya penulis Islam yang yang lebih moderat dan kritis.

3. Banyak adegan dan diolog yang seolah Islam mentolerir adanya kekerasan dalam rumah tangga.
Dalam masalah pernikahan, Allah Subhanahu wa Ta’ala membatasi laki-laki hanya boleh mengumpulkan empat istri, dengan syarat harus berlaku adil dengan sekuat kemampuannya di antara para istrinya. Dan Allah Subhanahu wa Ta’ala wajibkan bagi suami untuk bergaul dengan ma’ruf terhadap istrinya:
o “Dan bergaullah kalian dengan para istri dengan cara yang ma’ruf.” (An-Nisa`: 19)
Allah Subhanahu wa Ta’ala menetapkan adanya mahar dalam pernikahan sebagai hak wanita yang harus diberikan secara sempurna kecuali bila si wanita merelakan dengan kelapangan hatinya. Dia Yang Maha Tinggi Sebutan-Nya berfirman:
o “Dan berikanlah mahar kepada para wanita yang kalian nikahi sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kalian sebagian dari mahar tersebut dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu sebagai sesuatu yang baik.” (An-Nisa`: 4)’
o Wanita pun dijadikan sebagai penanggung jawab dalam rumah tangga suaminya, sebagai pemimpin atas anak-anaknya. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kabarkan hal ini dalam sabdanya:
o "Wanita adalah pemimpin atas rumah tangga suaminya dan anak suaminya, dan ia akan ditanya tentang mereka." (HR. Al-Bukhari dan Muslim). (Al-Mukminat, hal. 12-14)

4.
Seorang ustadz berkhalwat dengan seorang perempuan bukan muhrim bahkan sudah bersuami.
( Ketika Anisa merasakan betapa beratnya penderitaan yang dialaminya, dan tidak ada seorangpun yang bisa menolongnya kecuali satu, Khudori.. Secara diam-diam Annisa menemui Khudori di sebuah tempat tersembunyi di Pesantren Al Huda. Anissa menggugat kepergian Khudori tujuh tahun lalu dan berkeluh kesah apa yang telah dilakukan Samsudin Dia yakin tak akan menjalani hidup sepahit ini jika saja Khudori tak pergi meninggalkannya dulu.
Merasa putus asa, Annisa ingin cerai dari Samsudin dan Anissa meminta Khudori segera menikahkannya . )
Orang Islam yang awam sekalipun paham bahwa berkhilwat dengan yang bukan muhrim nyata-nyata diharamkan, tanpa adanya kekhilafan dikalangan ulama.Seharusnya Hanung memberikan gambaran yang bener tentang ajaran Islam, berikut ini beberapa dalil tentang larangan tersebut.
Ath-Thabrany mentakhrij sebuah hadits.
o "Artinya Janganlah kamu sekalian berkhalwat dengan wanita. Demi diriku yang ada dalam kekuasaan-Nya, tidaklah seorang laki-laki berkhalwat dengan seorang wanita melainkan syetan akan masuk di antara keduanya. Lebih baik seorang laki-laki berdekatan dengan babi yang berlumuran tanah liat atau lumpur daripada dia mendekatkan bahunya ke bahu wanita yang tidak halal baginya".
o Hal itu didasarkan pada hadits Abdullah bin Abbas Radhiyallahu 'anhu, di mana dia mengatakan bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.
o "Artinya : Tidak diperbolehkan bagi seorang laki-laki berkhulwah (menyendiri) dengan seorang wanita kecuali bersamanya (wanita) muhrimnya". (Hadist Riwayat Muttafaqun 'alaih)

5.
Adegan hukuman rajam dalam Film ''Perempuan Berkalung Sorban'', menyontek kisah dalam kitab Injil_nya Nasrani
Hanung rupanya sudah kecapaian mencari kisah-kisah yang islami yang sesuai dengan cerita Al Qur’an yang bisa ditampilkan dalam filmnya dalam adegan hukum rajam ,sampai-sampai mengais-ngais dari ayat-ayat Injil_nya Nasrani.
o Kisah versi ''Perempuan Berkalung Sorban''_nya Hanung Bramantyo :
Ketika Anisa secara diam-diam Annisa menemui Khudori di sebuah tempat tersembunyi di Pesantren Al Huda..Samsudin-suami Anisa mencium pertemuan rahasia istrinya dengan Khudori dan bersama para santri Samsudin mendatangi tempat pertemuan mereka.
Khudori pun dituduh
telah berzina dengan Annisa dan menjadi bulan-bulanan dilempari batu (hukum rajam) ,namun di sa’at-sa’at yang kritis tampil ibunya Anisa (Nyai Muthmainnah- Widyawati), membela dan berusaha menyelamatka mereka berdua dari hukuman rajam, sang ibu mengancam kepada para santri dengan mengatakan “Barangsiapa di antara kamu tidak berdosa, hendak-lah ia yang pertama melemparkan batu" , mendengar perkataan Nyai Mumainah tersebut maka, satu-per-satu mereka mulai meninggalkan diri , karena mereka merasa tidak seorangpun dari mereka yang tidak berdosa
o Kisah versi Injil_nya Nasrani :
Suatu ketika ahli-ahli taurat dan orang-orang Farisi datang menemui Yesus untuk menyerahkan seorang wanita yang tertangkap basah berbuat zina :
Rabi, perempuan ini tertangkap basah ketika ia se-dang berbuat zinah. Yohanes 8:4
Mereka terus mendesak Yesus agar menghukum wanita tersebut sesuai hukum Taurat yaitu dilempari batu sampai mati, namun Yesus menolak dan balik berkata kepada mereka :
“Barangsiapa di antara kamu tidak berdosa, hendak-lah ia yang pertama melemparkan batu kepada perempuan itu.?” Yohanes 8:7
mendengar perkataan Yesus tersebut, satu-per-satu mereka mulai meninggalkan Yesus dan wanita pelacur tersebut, karena mereka merasa tidak seorangpun yang tidak berdosa. Maka tinggallah berdua Yesus dan wanita pezina itu, lalu Yesus berkata kepadanya :
Hai perempuan, di manakah mereka? Tidak adakah seorang yang menghukum engkau?Jawabnya: “Tidak ada, Tuhan.� Lalu kata Yesus: “Aku pun tidak menghukum engkau. Pergilah, dan jangan berbuat dosa lagi mulai dari sekarang.� Yohanes 8:10

6.
Banyak dialog dan adegan yang menyesatkan didiamkan tanpa adanya penjelasan.
Bagi orang yang awam akan syariat Islam akan keliru dalam menilai Islam, dikarenakan banyaknya adegan dan dialog yang menyesatkan bahkan melecehkan Islam.dan tidak ada ruang penjelasan dalam film ini untuk yang awam.
o
Samsudin-suami Anisa terlibat pergaulan bebas dengan seorang janda hingga akhirnya hamil.,ketika hal ini diketahui oleh orang tua samsudin yang nota bene adalah pimpinan sebuah pondok pesantren yang disegani.Tidak ada sedikitpun penjelasan dari Sang Kiai bahwa perbuatan zina adalah dosa besar dan perilaku yang sangat hina apa lagi bagi anak seorang kiai
o Dalam novel, poligami yang dilakukan suaminya karena berzina menghamili seorang janda tidak disampaikan dengan jelas. dalam film malah dipakai dalil agama untuk membolehkan poligami suaminya. Padahal dalam agama suami yang berzina jelas hukumnya. Malah dalam film jadi kebalik dengan settingan annisa sebagai istri orang berdua2an dengan lek khudori ditempat sepi (gak sesuai tradisi pesantren) malah Lek khudori yang statusnya bujangan mau dihukum rajam.. Aneh sekali hukum agama dibolak balik,..
o Temannya annisa yang terlibat pergaulan bebas setelah kuliah di Yogya dibiarkan berlalu tampa penjelasan, seolah kejadian seorang mantan santri wait yang terpeleset perzinahan bukan perkara yang luar biasa.
o Orang tua Annisa yang seorang kiai melarang keras Annisa menunggang kuda dengan alasan perempuan tidak pantas menunggang kuda dan hanya laki-laki yang boleh.
o Kiai sebagai pemimpin pesantren digambarkan materialistis.
o Seolah-olah Islam membenarkan tindakan kekerasan terhadap istri dengan mendasarkan pada kitab-kitab kuning.
o Ayat-ayat Alquran dan hadits ucapan Rosulullah shalallahu alaihi wassalam ditampilkan sebagai pembenaran atas perilaku salah.
o Kurangny dialog/ucapan salam ketika sesama umat muslim bertemu ,bahkan ketika Anisa bertemu dengan ibunya atau dialog adegan di lingkungan pesantrenpun hampir tidak ada ucapan salam "assalammualaikum"
Dan sebagainya


Itulah beberapa dialog dan adegan dalam film “Perempuan Berkalung Sorban” yang kontroversi sekaligus menjadi catatan kekecewaan saya.
Apa yang disuguhkan dalam film “PBS” tersebut sangat jauh dan bertentangan dengan keagungan kaidah Islam yang sebenarnya, walaupun kadang di masyarakat ada salah persepsepsi dalam penerapannya. Inilah tugas para ulama, para ustadz dan ustadzah untuk lebih mendakwahkan ajaran Islam yang sesungguhnya terutama yang berkaitan hubungan dalam kehidupan berumah tangga.

Syariat Islam yang diturunkan Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada Nabi-Nya Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam menetapkan bahwa wanita adalah insan yang mukallaf sebagaimana lelaki.
Wanita juga harus melaksanakan amar ma’ruf nahi mungkar semampunya, melaksanakan apa yang diperintahkan dan menjauhi apa yang dilarang. Ia pun diperintah untuk berhias dengan akhlak mulia seperti jujur, amanah, dan adab-adab Islam lainnya.
Pembebanan syariat atas wanita sebagaimana kepada lelaki ini tidak lain bertujuan untuk memuliakan wanita dan mengantarkannya kepada derajat keimanan yang lebih tinggi. Karena, pemberian beban syariat kepada seorang hamba hakikatnya adalah pemuliaan bagi si hamba, bila ia melaksanakannya sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Bukankah di balik beban syariat itu ada pahala yang dijanjikan dan kenikmatan abadi yang menanti…?
Perlu diketahui, sekalipun wanita memiliki kedudukan yang sama dengan lelaki dalam hukum syariat, namun ada beberapa kekhususan hukum yang diberikan kepada wanita.
Di antaranya:
1. Wanita tidak diwajibkan mencari nafkah untuk keluarganya
2. Dalam warisan, wanita memperoleh setengah dari bagian lelaki, sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Allah memberi wasiat kepada kalian tentang pembagian warisan bagi anak-anak kalian, yaitu anak laki-laki mendapat bagian yang sama dengan bagian yang diperoleh dua anak perempuan.” (An-Nisa`: 11)
Pembagian seperti ini ditetapkan karena seorang lelaki memiliki kebutuhan untuk memberi nafkah, memikul beban, mencari rizki dan menanggung kesulitan, sehingga pantas sekali ia menerima bagian warisan dua kali lipat dari yang diperoleh wanita. Demikian dinyatakan Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullahu ketika menafsirkan ayat di atas.
3. Wanita tidak boleh memimpin laki-laki, bahkan ia harus berada di bawah kepemimpinan lelaki.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Kaum lelaki adalah pemimpin atas kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (lelaki) atas sebagian yang lain (wanita) dan karena mereka (lelaki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka.” (An-Nisa`: 34)
Al-Imam Al-Alusi rahimahullahu berkata: “….Terdapat riwayat yang menerangkan bahwa para wanita kurang akal dan agamanya, sedangkan lelaki sebaliknya. Hal ini sangatlah jelas. Karena itulah para lelaki mendapat kekhususan mengemban risalah kerasulan dan kenabian menurut pendapat yang paling masyhur. Mereka mengemban amanah imamatul kubra (kepemimpinan global) dan imamatus shughra (kepemimpinan nasional), menegakkan syiar-syiar Islam seperti adzan, iqamah, khutbah, shalat Jum’at, bertakbir pada hari-hari tasyrik –menurut pendapat guru kami yang mulia–. Demikian pula memutuskan perceraian dan pernikahan menurut pendapat madzhab Syafi’iyyah, memberikan kesaksian-kesaksian dalam perkara pokok, mendapat bagian yang lebih banyak dalam pembagian harta warisan dan berbagai permasalahan lainnya.” (Ruhul Ma’ani, 3/23)

Ketika seorang wanita diangkat sebagai pemimpin oleh suatu kaum, maka mereka tidak akan beruntung. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
"Tidak akan beruntung suatu kaum yang mereka menyerahkan urusan mereka kepada seorang wanita." (HR. Al-Bukhari)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda seperti ini tatkala sampai berita kepada beliau bahwa penduduk Persia menobatkan Buran, putri Kisra, sebagai ratu mereka. Al-Imam Ash-Shan’ani rahimahullahu berkata: “Di dalam hadits ini ada dalil yang menunjukkan tidak bolehnya seorang wanita memimpin sesuatu pun dari hukum-hukum yang bersifat umum di kalangan muslimin….” (Subulus Salam, 4/190)

Demikianlah. Semua kekhususan yang ditentukan oleh Islam terhadap wanita bertujuan untuk menjaga agama, akal, nasab/keturunan, jiwa dan harta, di mana –menurut Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-’Asqalani rahimahullahu– bila kelima perkara ini terjaga niscaya akan terwujud kebaikan dunia dan akhirat. (Fathul Bari, 1/226)
Islam datang untuk mengumumkan bahwa perempuan dilahirkan bukan untuk pemuas seks laki-laki semata, bukan untuk dihardik, dihina, dipukul, dibunuh ataupun sederetan korban kekerasan. Mereka punya hak dihargai dan dimuliakan, karena mereka makhluk yang mulia. Islam telah mengajarkan melalui petunjuk al-Qur’an dan hadis (yang dijadikan pedoman hidup umat muslim) bahwa perempuan merupakan makhluk mulia. Al-Qur’an, misalnya Surah an-Nisa ayat 19, menjelaskan: “Dan pergaulilah istri-istrimu dengan cara yang ma’ruf”.
Cara yang makruf maksudnya adalah memperlakukan istri dengan cara yang halus, lemah lembut, kasih sayang, bukan dalam bentuk kekerasan fisik dan tekanan psikis.
Rasulullah saw. memberikan gelaran sangat mulia kepada laki-laki yang senantiasa memuliakan perempuan dan mencela laki-laki yang merendahkan dan meremehkan perempuan. Beliau bersabda: “Barang siapa yang memuliakan perempuan, maka dia itu mulia, dan barang siapa yang menghina perempuan maka dia adalah hina”. Alangkan tingginya penghargaan Islam terhadap para laki-laki yang tidak melakukan tindak kekerasan fisik, penghinaan, pelecehan seksual, tidak menghargai kelebihan yang dimiliki perempuan. Kalau laki-laki itu manusia yang mulia, maka semua pelanggaran di atas tidak akan pernah dilakoninya.

Ada sebahagian kelompok masyarakat beranggapan bahwa perlakuan kasar (tindakan memukul istri yang salah) dibenarkan dalam al-Qur’an, dengan mengutip surah an-Nisa ayat 34: “…Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur dan pukullah mereka…” Kata nusyuz dipahami dengan kesalahan fatal dari istri yang akan berdampak negatif pada kelangsungan hidup berumah tangga dan mengganggu perkembangan anak-anak. Misalnya, istri punya PIL (Pria Idaman Lain) serta bermesraan dihadapan suami dan anak-anak.
Jika kesalahan ini dilakukan istri, bukannya ia langsung dipukul, tetapi Islam menjelaskan prosedur manusiawi yang semestinya dijalani suami, yakni menasehati lebih dahulu si istri, tentunya dengan memberikan pertimbangan positif dan negatif terhadap tindakan yang dilakukannya. Sebab, mungkin saja si istri melakukannya karena khilaf, atau pengaruh lingkungan, dan lainnya.
Setelah berulangkali dinasehati dan tidak digubris, tahapan selanjutnya adalah dengan pisah ranjang. Ini merupakan tindakan yang mendidik (educative action) agar istri merasa bahwa apa yang dilakukannya adalah keliru. Bila ini gagal, maka upaya yang maksimal adalah ‘wadribuhunna’ (pukullah-menurut terjemahan Departemen Agama- tetapi bukan dengan pukulan yang bisa berbekas).
Kalaupun ‘wadribuhunna’ diartikan pukullah, maka ini adalah tindakan terakhir setelah upaya nasehat dan pisah ranjang tidak efektif lagi. Saya lebih cenderung memahami ‘wadribuhunna’ sebagai “memberitahukan istri (tentang keinginan) untuk menceraikannya”, karena kata daraba—dalam bahasa Arab—mempunyai makna yang banyak, dan bukan hanya berarti memukul. Pemahaman tersebut juga diilhami oleh adanya korelasi (munasabat) antara ayat tersebut dan ayat sesudahnya, yakni perlunya didatangkan mediator (hakim) jika suami dan istri tetap tidak berhasil berdamai kembali.
Kekerasan terhadap perempuan bertentangan dengan hak-hak asasi manusia dan ajaran Islam. Islam datang untuk membawa kemaslahatan umat termasuk perempuan bukan mensosialisasikan kekerasan.

Pada akhirnya raport merah_pun layak diberikan kepada Hanung Bramantyo dengan nilai 3(--) untuk karyanya film “Perempuan Berkalung Sorban” .
Sekali Lagi saya hanya bisa berharap : Semoga kesalahan ini semata-mata “murni” sekedar hanya sebuah kekhilafan ,dikarenakan mereka (pembuat film) kurang mendalami ajaran Islam yang sebenarnya, serta ketidak pahaman mereka terhadap sejarah, tradisi, dan karakteristik pendidikan di lingkungan kehidupan pesantren.

Wallahu A’lam Bissawab.
baiqoni